Jakarta: Perkembangan upaya penguatan kelembagaan, mekanisme dan operasionalisasi ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) menjadi salah satu agenda utama pada Pertemuan AIPR Governing Council dan Pertemuan AIPR Advisory Board yang telah berlangsung di Manila, Filipina (1/10). Sebagai lembaga penelitian yang relatif baru, AIPR diharapkan dapat memainkan peran penting di kawasan untuk memajukan riset dan kompilasi pengalaman serta best practices negara anggota ASEAN mengenai perdamaian, manajemen konflik, resolusi konflik dan pembangunan perdamaian pasca konflik.


Dua Pertemuan yang masing-masing diketuai oleh Watap/Dubes Filipina untuk ASEAN Elizabeth P. Buensuceso selaku Chair of the Governing Council AIPR dan Assistant Secretary Office of the Presidential Adviser on the Peace Process, Maria Cecilia D. Papa selaku AIPR Chair of the Advisory Board, juga membahas sejumlah agenda lainnya seperti, identifikasi dan kerja sama dengan negara-negara mitra, lembaga riset dan organisasi non-pemerintah; proposal kegiatan konkret AIPR ke depan; dan peningkatan awareness masyarakat mengenai AIPR di masing-masing negara anggota ASEAN.


Rangkaian pertemuan AIPR ini dihadiri oleh seluruh anggota AIPR Governing Council dan AIPR Advisory Board. Adapun Wakil Indonesia yang hadir dalam Pertemuan AIPR tersebut adalah AIPR Governing Council-Indonesia, Dubes Artauli RMP Tobing dan AIPR Governing Board-Indonesia, Dubes Chilman Arisman yang juga merupakan Plt. Watapri untuk ASEAN, Direktur Polkam ASEAN, Kemlu. Hadir pula dalam pertemuan, Dubes Rezlan Ishar Jenie yang baru saja terpilih sebagai Executive Director AIPR melalui seleksi/pemilihan terbuka AIPR.


Dalam rangkaian kegiatan tersebut, AIPR berkolaborasi dengan ICRC dan Pemerintah Filipina menyelenggarakan simposium dengan tema “Strengthening Convergences for Humanitarian Action in ASEAN: an AIPR Symposium on International Humanitarian Law” pada tanggal 2-3 Oktober 2017 sebagai salah satu kegiatan konkrit AIPR pada tahun 2017.


Simposium mengangkat dan membahas sejumlah tema utama terkait perlindungan dan proteksi kelompok rentan akibat konflik, convergence antara hukum humaniter internasional dengan prinsip-prinsip keagamaan, dan dentifikasi berbagai langkah ke depan. Simposium ini menghadirkan pembicara dari wakil lembaga kemanusiaan internasional, ahli hukum humaniter dan hukum agama, civil society groups, wakil/tokoh agama dan pejabat pemerintah terkait lainnya. Simposium ini menarik minat berbagai kalangan seperti wakil pemerintah negara anggota ASEAN, civil society, NGO, organisasi internasional, akademisi, pemerhati dan para pemangku kepentingan yang bergerak di bidang perdamaian, manajemen serta resolusi konflik di kawasan.


AIPR dibentuk sebagai bentuk konkret implementasi Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Blueprint) yang ditetapkan pada saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011 melalui ASEAN Leader’s Joint Statement on the Establishment of AIPR pada tanggal 8 Mei 2011. Lembaga yang terafiliasi dengan ASEAN ini didirikan sebagai suatu lembaga penelitian yang terdiri dari wakil-wakil pemerintah, think-tanks dan akademisi, dengan tugas utama memberikan masukan/ rekomendasi bagi kebijakan pemerintah terkait perdamaian, penyelesaian konflik dan rekonsiliasi di kawasan Asia Tenggara.
 Sejak pembentukannya, AIPR telah menyelenggarakan berbagai seminar dan symposium dalam kerangka capacity buildingsharing best practices dan telah mengidentifikasi berbagai konflik yang terjadi di kawasan.


Sebagai pemrakarsa utama AIPR, Indonesia membantu dan mendukung proses pembentukan dan pengembangan kelembagaan AIPR, antara lain melalui penyediaan kantor Sekretariat AIPR di Jakarta dan pemberian fasilitas/dukungan logistik terkait lainnya. Dalam memulai kiprahnya di ASEAN, AIPR telah bekerja sama dengan berbagai negara mitra dan organisasi internasional yang memiliki program yang sama terkait perdamaian dan rekonsiliasi seperti Jepang, Inggris, Norwegia, Belanda, UE dan PBB. (Sumber: PTRI ASEAN)

Selengkapnya Kementerian Luar Negeri