Pada 2020, wabah COVID-19 melanda dunia. Saat itu, Wahid, 45 tahun, pekerja serabutan warga asli Serpong, wilayah kota Tangerang Selatan, tiba-tiba kehilangan sumber pendapatan. “Biasanya saya ngojek, antar jemput sekolah. Tiba-tiba sekolah harus pembelajaran jarak jauh. Semua orang di rumah. Tidak ada yang perlu jasa saya,” keluhnya.

Sekitar 3.500 kilometer jauhnya dari rumah Wahid, ada Aroon Tanawat, 42 tahun, warga Chiang Mai, yang pandai memasak. Ia membuka kelas memasak untuk turis, dan mempromosikan kelasnya lewat media sosial. Tiap hari, paling tidak ada dua turis yang mendaftar. Sayang, pandemi menghentikan industri pariwisata, lalu berdampak pada kegiatan Aroon.

Saat itulah, organisasi ASEAN bergerak. Perhimpunan mengaktivasi mekanisme regional, berisi standar pertukaran informasi dan kerja sama. Segera dibentuk ASEAN BioDiaspora Virtual Center yang bisa memberikan landasan pemikiran bagi pemerintah negara anggota mengambil keputusan untuk mengatasi wabah. Seiring berjalannya waktu, organisasi menginisiasi pembentukan respon pandemi yang lebih maju, sekaligus membangun ketahanan jika di masa depan terjadi lagi ancaman kesehatan. Semua bisa dicapai melalui dialog, pembangunan, dan kerja sama antara negara-negara ASEAN.

Di luar hiruk pikuk yang terjadi di jajaran pemerintahan, dan duka yang menyelimuti karena korban seolah tak henti berjatuhan, pandemi justru berdampak positif pada ekonomi digital di Asia Tenggara. Tercatat sekitar 40 juta pengguna internet baru di Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Pembatasan kegiatan selama wabah COVID-19 memaksa masyarakat untuk berbelanja dari rumah. Bisnis e-commerce langsung melonjak hingga 63 persen.

Sumber: ASEAN Indonesia 2023