Jakarta Convention Center (JCC) disiapkan sebagai pusat kegiatan KTT ke-43 ASEAN 2023, pada 5--7 September 2023. Renovasi dilakukan demi meningkatkan kenyamanan JCC.

Bentuk atap bangunan di pusat kota Jakarta ini sungguh unik, seperti mangkuk terbalik dan menjadi ciri khas yang memudahkan siapa saja untuk mengingat namanya pada era tahun 1980-an silam. Lokasinya berada tak jauh dari Jembatan Semanggi, gedung parlemen dan kantor pusat Televisi Republik Indonesia, serta kompleks Stadion Gelora Bung Karno. Balai Sidang Jakarta, begitulah nama yang disematkan oleh Presiden Soekarno untuk bangunan yang berdiri di atas lahan seluas tiga hektare tersebut.

Mulai dibangun pada 8 Februari 1960 silam, Balai Sidang Jakarta dan sejumlah bangunan seperti disebut di atas mulanya menjadi salah satu rencana besar Bung Karno untuk memamerkan kekuatan Indonesia dan kemegahan Jakarta saat dicetuskannya Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang (Ganefo) sebagai alternatif perhelatan multicabang melebihi Olimpiade. Acaranya direncanakan digelar pada 10--22 November 1963.

Namun, dalam perkembangannya, seperti diungkapkan sejarawan Adolf Heuken, penulis Sejarah Jakarta Dalam Lukisan dan Foto, ajang tersebut tidak memakai bangunan Balai Sidang karena belum rampung dikerjakan. Pembangunannya saat itu menghabiskan biaya sebesar USD12,5 juta atau sekitar Rp187,5 miliar.

Arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo yang pernah mengenyam pendidikan arsitektur Prancis, Belanda, dan Jerman tersebut terpilih untuk mendesain dan membangun Balai Sidang. Menurut Bagoes Wiryomartono dalam Soejoedi and Architechture in Modern Indonesia yang dimuat pada Journal of Architectural Research, 6 Juni 2016, menyebutkan, Soejoedi adalah salah satu arsitek asli Indonesia pascakemerdekaan yang meletakkan dasar desain modernis.

Desain modernis itu sebagai upaya Soejoedi untuk lepas keterikatan gaya kolonialisme yang masih tersemat pada banyak bangunan lama di tanah air. Ia diketahui merancang sejumlah bangunan ikonik di awal 1960-an seperti Gedung MPR/DPR/DPD RI, Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Kementerian Pertanian, Gedung Manggala Wanabhakti, Kantor Kementerian Perhubungan, dan beberapa kantor Kedutaan Besar Indonesia seperti di Kuala Lumpur dan Kolombo.

Balai Sidang akhirnya rampung pada 1974 dan memiliki Plenary Hall, sebuah auditorium besar berkapasitas 5.000 orang yang dinaungi oleh atap kubah (dome) raksasa seperti diceritakan di awal tulisan. Bangunan tersebut kemudian langsung dipakai untuk konferensi tahunan Asosiasi Biro Perjalanan Asia Pasifik (PATA) ke-23, April 1974. Perhelatan PATA ke-23 ini menjadi awal mula perjalanan Balai Sidang Jakarta dikenal sebagai pusat konvensi terbesar di tanah air pada masanya.

Selengkapnya: Portal Informasi Indonesia