Naypyitaw - Setelah militer Myanmar menggulingkan pemerintah sipil dalam aksi kudeta dan mengambil alih kekuasaan pada tanggal 1 Februari lalu, protes nasional dan kampanye pembangkangan sipil massal terhadap junta militer terus bergulir. Militer membalas dengan melakukan tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa.

 

Hingga tanggal 26 Maret, tercatat 164 demonstran tewas, demikian menurut angka resmi. Namun menurut data yang diberikan oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), lebih dari 300 orang telah terenggut nyawanya.

Krisis yang tidak kunjung berakhir ini menimbulkan tantangan bagi Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Menulis di Bangkok Post, pakar politik Thailand, Thitinan Pongsudhirak bahkan menyebutnya sebagai "krisis eksistensial".

Diplomasi dan reputasi ASEAN diuji

Pertama-tama, kini bobot diplomatik aliansi itu dipertaruhkan. Akan menjadi pukulan telak bagi kepentingan ASEAN jika, misalnya, Amerika Serikat membatalkan keikutsertaannya dalam KTT Asia Timur atau KTT ASEAN berikutnya karena tidak siap untuk duduk sejajar dengan para jenderal Myanmar.

Kedua, reputasi ASEAN akan memperburuk gambar demonstrasi massa nasional melawan rezim militer dan para demonstran yang dibunuh dan terluka beredar di seluruh dunia. Hal ini juga mencoreng citra ASEAN. Blok tersebut telah dituduh tidak menganggap serius piagam hak asasi manusianya sendiri.

Ketiga, perpecahan di Myanmar, yang akan membahayakan stabilitas seluruh kawasan. Warga Myanmar, sudah mulai mengungsi ke tempat-tempat seperti India dan Thailand.

Selengkapnya Detik.com