Iklim startup Asia Tenggara sedang mengalami fase peralihan. Investor kini mulai membatasi pendanaan ke startup bervaluasi lebih dari US$ 1 miliar (unicorn). Begitupun pelaku startup mulai mengubah fokus bisnis intinya untuk menyesuaikan keinginan investor dan pasar. 

Dalam tiga tahun ke belakang, pendanaan ke unicorn Asia Tenggara terus mengalami penurunan.  Angkanya mencapai titik tertinggi pada 2018 dengan US$ 8,7 miliar. Namun, turun 35,6% pada tahun berikutnya. Bahkan, nilai investasi sepanjang semester I-2020 yang sebesar US$ 3 miliar hanya setengah dari jumlah pada periode sama tahun sebelumnya, yakni US$ 5,6 miliar.

Total investasi yang semakin rendah pun mesti dibagi untuk 12 unicorn. Lima di antaranya berasal dari Indonesia, yakni: Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO. Lima lainnya berasal dari Singapura. Dua lainnya berasal dari Vietnam. Chief Investment Strategist Temasek Rohit Sipahimalani mengatakan, unicorn mungkin akan kian sulit medapat pendanaan dalam waktu dekat.

“Investor menghindari bisnis yang menghabiskan banyak uang,” katanya melalui keterangan resmi pada 10 November 2020. Konsekuensinya, startup tak lagi sekadar bakar uang untuk meningkatkan nilai transaksi dan jumlah pengguna, tetapi juga memerhatikan kualitas dan keberlanjutan keduanya dalam mencatatkan keuntungan.

Salah satunya dengan melakukan refocusing bisnis pada layanan inti dan potensial. Startup di sektor transportasi dan makanan, misalnya, lebih mengutamakan pengiriman makanan dan paket daripada layanan gaya hidup. Sektor e-commerce melanjutkan layanannya, juga menambah penjualan bahan pangan yang naik pesat selama pandemi Covid-19. Kemudian, layanan perjalanan online fokus pada bidang-bidang yang mulai pulih, seperti pemesanan hotel dan liburan domestik.