REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menilai, perjanjian dagang maupun misi perdagangan yang dilakukan pemerintah telah membantu pelaksanaan kinerja ekspor dan impor pada 2018.

Candra menyatakan upaya tersebut mampu meningkatkan nilai ekspor nonmigas serta menahan pelebaran defisit neraca perdagangan yang secara kumulatif Januari-November 2018 tercatat sebesar 7,52 miliar dolar AS.

"Perjanjian-perjanjian dagang itu meminimalkan ketidakpastian pasar. Walaupun memang untungnya tidak banyak, tetapi lebih terjamin pembelinya," katanya, kemarin

Menurut dia, perjanjian maupun misi dagang dengan negara lain tersebut dapat menumbuhkan optimisme atas kinerja ekspor Indonesia selama 2019, meski masih terdapat ketidakpastian global yang menyebabkan lesunya permintaan.

Selama 2018, Kementerian Perdagangan tercatat melakukan ratifikasi atas delapan perjanjian dagang yang akan disusul ratifikasi dari perjanjian dagang seperti Indonesia-Chile CEPA serta ASEAN-Hong Kong FTA and Investment Agreement.

Selain itu, juga ditandatangani empat perjanjian yang mampu meningkatkan nilai ekspor hingga 1,9 miliar dolar AS yaitu 10th ASEAN Framework Agreement on Services, First Protocol to Amend ATIGA, ASEAN Agreement on Electronic Commerce, dan Indonesia-EFTA CEPA.

Beberapa misi dagang juga telah dilakukan ke 13 negara yang sebagian besar merupakan pasar nontradisional. Nilai transaksinya mencapai 14,79 miliar dolar AS atau tumbuh 310 persen dibandingkan periode 2017 sebesar 3,6 miliar dolar AS.

Meski demikian, menurut Candra, perjanjian maupun misi dagang tak bisa secara langsung  menguatkan neraca perdagangan. Sebab, komoditas seperti minyak sawit dan batu bara mengalami penurunan harga.