Mira Permatasari, M.Si (Han) – Director of The Yudhoyono Institute, Pemerhati Studi Kawasan ASEAN

Penahanan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint dan beberapa tokoh Partai Liga Demokrasi oleh militer Myanmar pada Senin, 1 Februari lalu, kembali membuat kawasan Asia Tenggara menjadi sorotan dunia. Seperti deja vu, peristiwa kudeta ini menambah kelam jejak seteru Suu Kyi dan pimpinan militer Myanmar yang berlangsung lebih dari satu dekade. Hal ini juga tentu menjadi beban tersendiri bagi Asosiasi Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN) dalam mengambil sikap bagi apa yang terjadi pada salah satu negara anggotanya tersebut. Sejak bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN di tahun 1997, banyak pihak yang menyangsikan bahwa Myanmar akan benar-benar menjalankan nilai-nilai dan prinsip ASEAN. Tidak pelak, Myanmar kerap dijuluki sebagai ‘Angsa Hitam’ di ASEAN.

Negara-negara di dunia pun ikut bersuara atas terjadinya peristiwa kudeta tersebut. Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat dan perwakilan Uni Eropa yang tergabung dalam G-7 mengecam keras kudeta militer di Myanmar. Sekjen PBB menyatakan bahwa kudeta ini tidak bisa diterima dan ini bukanlah cara untuk memerintah suatu negara. Bahkan Dewan Keamanan PBB saat ini sedang merumuskan pernyataan resmi terhadap apa yang terjadi di Myanmar. Amerika Serikat bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi keras untuk Myanmar.