KBRN, Jakarta : Permasalahan pengungsi Rohingya hingga kini masih menjadi fokus antara Bangladesh sebagai negara penampung dan Myanmar sebagai negara asal para pengungsi. Pasalnya meski saat ini rencana repatriasi ditunda sebagai tindaklanjut dari rekomendasi Tim Investigasi HAM di Myanmar, namun lebih dari 700 ribu pengungsi Rohingya menyatakan masih trauma dan takut untuk kembali ke Rakhine State.

Sejak tahun 2018 pemerintah Bangladesh dan Myanmar telah membuat daftar repatriasi dengan 2000 nama pengungsi didalamnya. Salah seorang pengungsi, Kalimullah, menyatakan, bahwa ia tidak ingin kembali ke Myanmar, sebab ia merasa tidak memiliki hak sebagai seorang warganegara.

“Saya tidak ingin kembali sebab kami tidak memiliki hak bagi seorang warganegara. Mereka tidak akan mengembalikan kami ke tanah kami. Mereka akan mengirim kami ke kamp pengungsian," ujar Kalimullah seperti dilansir dari TRT World. Kalimullah yang juga mengajak istri dan dua orang anaknya itu mengungkapkan, bahwa ia berkeyakinan otoritas pemerintah Myanmar akan memasukkan mereka ke kamp pengungsian alih-alih mengembalikan mereka ke desa asal. 

“Pemerintah telah memasukkan nama saya kedalam daftar repatriasi, saya akan meninggalkan kamp ini dengan rasa takut,” ungkapnya.  Sebelumnya, 30 Oktober 2018, Myanmar dan Bangladesh sepakat untuk memulangkan para pengungsi Rohingya pada November 2018.

Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Febrian Ruddyard, mengatakan, sebagai upaya melancarkan proses repatriasi setidaknya pemerintah Bangladesh dan Myanmar didorong untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dengan ASEAN dan “Bali Process”, dimana baik Bangladesh maupun Myanmar merupakan anggota dari kedua organisasi dan mekanisme regional tersebut.

“Kemudian, ada juga “Bali Process” punya kapasitas untuk bisa membantu melakukan screening, upaya repatriasi, penyiapan wilayah-wilayah yang nanti jadi penampungan sementara. “Bali Process” yang Indonesia dan Australia menjadi ketua dan Myanmar serta Bangladesh menjadi anggotanya,” jelas Febrian Ruddyard ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (12/6/2019).

Dibagian lain Febrian Ruddyard menilai repatriasi sebaiknya dilakukan dengan mengirim sebagian pengungsi Rohingya, yang diharapkan dapat menjadi “duta” bagi pengungsi lain dan memastikan bahwa kondisi di Rakhine State lebih baik. “Kalau merepatriasi katakanlah 1000 orang ini nanti menjadi “ambassador” untuk bisa meyakinkan mereka (yang lainnya) untuk kembali lagi ke Myanmar. Jadi, selama belum ada bukti bahwa orang dipatriasi itu hidupnya lebih baik daripada yang sekarang ada di penampungan ataupun lebih baik dari apa yang dulu mereka lakukan repatriasi ini tidak akan jalan. Sementara, untuk memindahkan ini tidak semata-mata dipindahkan harus bagaimanapun kalau mau mengembalikan harus ada persetujuan negara penerima,” paparnya.

Menurut Febrian, proses repatriasi pengungsi Rohingya lagi-lagi harus bisa melibatkan ASEAN secara langsung didalamnya. “Oleh karena itu kita ingin dorong pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk bersama-sama bekerjasama dengan ASEAN memberi kesempatan kepada regional organisasi ini dan regional mechanism seperti “Bali Process” untuk bisa membantu repatriasi. Karena, at the end yang perlu adalah repatriasi sebetulnya,” terang Febrian.

Pada 4 Maret 2019 tim asistensi dari ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance in Disaster Management (AHA Centre), telah dikirim ke Rakhine State.