Jakarta: “Dua tahun telah berlalu sejak Mahkamah Arbitrase yang dibentuk berdasarkan Annex VII Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) memutus sengketa pada 12 Juli 2016 antara Filipina dan Tiongkok mengenai Laut Tiongkok Selatan, namun kesalahpahaman mengenai arbitrase tersebut masih saja ditemui di berbagai kalangan," demikian diungkapkan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, dalam diskusi publik bertajuk “Reviewing Two Years of PCA Tribunal Judgment on the South China Sea" yang diselenggarakan oleh The Habibie Center pada 31 Juli 2018 di Jakarta.

Salah satu contoh kesalahpahaman yang sering ditemui, antara lain, adalah menganggap Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai lembaga yang menjatuhkan putusan arbitrase. Pemahaman yang tepat mengenai putusan sengketa Laut Tiongkok Selatan tersebut adalah bahwa putusan dijatuhkan oleh sebuah mahkamah arbitrase yang dibentuk berdasarkan Annex VII UNCLOS. PCA dalam hal ini hanya bertindak sebagai registry.

Selain itu, Dirjen Damos menyampaikan bahwa adanya jurang antara ekspektasi publik dengan konteks riil dari putusan turut menjadi penyebab adanya kesalahpahaman ini.

Sebagian masyarakat internasional mengharapkan mahkamah arbitrase untuk mampu menyelesaikan inti dari konflik di Laut Tiongkok Selatan, yakni sengketa mengenai kedaulatan wilayah. Akan tetapi, mahkamah tersebut memang tidak ditujukan untuk memutus mengenai perkara kedaulatan maupun tentang delimitasi maritim.

Mahkamah arbitrase dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan semata-mata menimbang, antara lain:

  1. Keabsahan klaim Sembilan Garis Putus-Putus yang diklaim oleh Tiongkok;
  2. Apakah High Tide Feature yang berada di wilayah sengketa berhak atas 200 mil laut;
  3. Apakah suatu fitur merupakan low tide elevation yang tidak berhak atas perairan sama sekali.

Menatap ke depan, permasalahan Laut Tiongkok Selatan diharapkan dapat diselesaikan dengan tiga cara. Menurut Dirjen Damos, tiga metode tersebut adalah conflict prevention, maritime delimitation, dan solving the issue of territorial sovereignty.

Selain Dirjen Damos, diskusi tersebut juga diisi oleh Rene Pattiradjawane, Senior Fellow The Habibie Center, yang menyoroti isu Laut Tiongkok Selatan dari segi geo-politik. Dr Hasjim Djalal, Duta Besar senior dan pakar Hukum Laut, turut memberikan pandangan penutup dalam diskusi ini. Diskusi dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk beberapa perwakilan asing yang berada di Jakarta. (Sumber: Ditjen HPI).

Selengkapnya: Kementerian Luar Negeri RI