“Satu tahun sejak ratifikasi Indonesia untuk Konvensi ASEAN tentang Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (ACTIP): penguatan kerjasama lintas bidang berbasis HAM hingga ke level daerah demi kerjasama regional yang lebih bermanfaat.”

Bulan ini genap satu tahun Indonesia meratifikasi Konvensi ASEAN tentang Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (ACTIP) dengan mengesahkan Undang Undang No. 12/2017. Undang-undang tersebut melengkapi UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO karena jenis pidana ini tidak bisa selesai hanya di level nasional, dibutuhkan kerjasama negara-negara lain untuk memperkecil dan menghilangkan ruang gerak para pelaku.

Wakil Indonesia untuk AICHR (Komisi HAK Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN), Dr. Dinna Wisnu, terus mendorong sejak 2016 agar segenap pihak yang berkepentingan dan memiliki mandat untuk memberantas TPPO di Indonesia untuk memanfaatkan jalur-jalur kerjasama yang bisa dikembangkan di ASEAN untuk memperbaiki kondisi negara di bidang ini. Dr. Dinna Wisnu menggandeng aparat penegak hukum di ASEAN (SOMTC, Senior Official Meeting on Transnational Crime) yang dari Indonesia diwakili oleh Bareskrim Polri, otoritas kesehatan dari Kementerian Kesehatan (SOMHD, Senior Official Meeting on Health Development), otoritas kesejahteraan sosial dari Kementerian Sosial (SOMSWD, Senior Official Meeting on Social Welfare Development), Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO Provinsi, lembaga internasional seperti IOM (International Organization on Migration) untuk menyebarluaskan komitmen ASEAN hingga ke tataran pemerintah daerah dan pemangku kepentingan non-pemerintah. Nusa Tenggara Timur menjadi salah satu perhatian karena daerah ini termasuk tertinggi tingkat TPPO-nya di Indonesia, bahkan ada istilah “migrasi kultural” yang kerap abai pada prosedur perlindungan warganegara.

“AICHR Indonesia terus mendorong pengarusutamaan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam langkah-langkah memberantas TPPO. Yang dimaksud dengan pendekatan berbasis HAM adalah bahwa kita berangkat dari kepedulian dan perhatian pada kerentanan yang dialami korban dan calon korban, juga komunitas; hal-hal yang membuat mereka mudah jatuh diperdaya oleh pelaku, hal-hal yang membuat pelaku mengejar para calon korban. Kita melihat dari sudut pandang kerentanan individu dan komunitas, termasuk juga aparat, ketika berhadapan dengan kejahatan keji ini,” demikian disampaikan Dr. Dinna Wisnu.

“Pendekatan berbasis HAM ini melengkapi pendekatan penegakan hukum karena ACTIP, konvensi ASEAN untuk anti TPPO, terbilang lebih lengkap dan mulia dibandingkan konvensi global tentang TPPO; memberi perhatian di tataran pencegahan, perlindungan korban, penegakan hukum dan penuntutan, serta kerjasama antar negara. Kita di Indonesia harus memanfaatkan betul peluang ini untuk sebesar-besarnya perbaikan nasib kelompok-kelompok rentan Indonesia agar tidak jatuh menjadi korban dari jaringan kejahatan yang sudah makin mengurat akar ini,” tambah Dr. Dinna Wisnu

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah masalah serius di Indonesia, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, Indonesia tidak hanya menjadi negara pengirim korban dan tempat transit tetapi juga menjadi negara tujuan bagi pelaku perdagangan orang untuk memperdagangkan para korban dari luar Indonesia.  Meskipun perekonomian di Indonesia dinyatakan terus meningkat, peningkatannya hanya pada sektor-sektor tertentu dan belum dirasakan secara langsung manfaatnya oleh pekerja migran. Proses migrasi masih saja ada yang non-prosedural, bahkan tetap subur saat diberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja, bahkan yang berangkat prosedural pun bisa pulang sebagai non-prosedural. Akibatnya pekerja migran Indonesia mengalami eksploitasi, dianiaya, bahkan banyak diantara mereka dilacurkan dan dieksploitasi secara seksual, dan sejumlah mereka berakhir kehilangan nyawa dan mengalami kelumpuhan permanen. Polda NTT mencatat sejak Januari-Juli 2018 telah menangani 25 kasus TPPO dengan korban 37 orang. Sementara itu data yang masuk kepada Wakil Indonesia untuk AICHR dari LSM PADMA sejak 1 Januari 2018 hingga 6 Oktober 2018 ada 86 jenazah pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dan tidak menutup kemungkinan mereka juga adalah korban TPPO.

 “Memang ada wilayah lain juga di Indonesia yang bermasalah dalam hal perdagangan orang, seperti di Jawa Barat, Batam, dan Kalimantan, tetapi sebagai awal, memberi perhatian pada NTT akan mengungkap banyak hal dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang cara penanganan masalah secara nasional maupun regional. Di NTT hampir selalu ada korban meninggal dunia atau disiksa, padahal sejumlah program pelayanan satu atap ada di sana demi memotong jalur-jalur non-prosedural untuk berangkat bekerja ke luar negeri. Demikian pula masyarakat sipil dan para tokoh agama kabarnya sudah sangat aktif bergerak melawan tindakan kejahatan ini. Artinya pasti ada yang luput dari perhatian di situ; ada sistem yang tidak jalan; ada yang tetap bisa menjual orang meskipun kabarnya Pemda di sana “galak”. Laporan yang masuk ke AICHR Indonesia sangat memprihatinkan. Melalui NTT saya sedang mengupayakan jalur komunikasi penyelesaian masalah perdagangan orang yang lebih efektif dengan Malaysia, negara destinasi utama migrasi orang-orang NTT, dan negara-negara ASEAN yang lain,” demikian disampaikan Dr. Dinna Wisnu.   

AICHR adalah Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah ASEAN yang dibentuk pada tahun 2009. Tiap negara ASEAN punya satu orang wakil yang bertugas mengembangkan program untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di ASEAN. Para wakil itu berkumpul secara rutin untuk menegosiasikan bentuk-bentuk pemajuan dan perlindungan HAM yang berjalan atau perlu dikembangkan.

Bekerjasama dengan IOM (International Organization on Migration), Kedutaan Swiss di Jakarta, DPD Kupang dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, AICHR Indonesia melakukan penyiapan pemangku kepentingan di NTT untuk kegiatan implementasi pendekatan berbasis HAM dalam penanganan perdagangan orang di ASEAN. Pada 14 Oktober 2018 akan diadakan Dialog Publik yang melibatkan Kementerian/Lembaga Daerah, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat serta insan pers untuk memperkenalkan pendekatan berbasis HAM dalam memberantas tindak pidana perdagangan orangPada 15 Oktober 2018 akan diadakan pelatihan bagi aparat penegak hukum dari polres dan polda dari wilayah-wilayah NTT juga dari penegak hukum di laut.

"IOM berkomitmen terus mendukung upaya pemerintah NTT dan Kepolisian dalam memberantas TPPO. Kami memandang perlunya pelibatan dan penguatan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memerangi TPPO; dan dukungan dari pemerintah Provinsi NTT merupakan modalitas penting dalam penuntasan kasus-kasus TPPO di NTT,” demikian disampaikan Among Resi dari IOM.

Indonesia memiliki Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) UU No. 21/2007. Implementasi UU tersebut dikuatkan dengan ratifikasi ACTIP yang dituangkan dalam Undang Undang No. 12/2017. Definisi TPPPO adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.

“AICHR Indonesia mengupayakan agar Indonesia berhasil memberantas perdagangan manusia dan NTT menjadi daerah percontohan yang dibanggakan, dengan kerjasama baik antar kelompok dan juga dengan negara-negara ASEAN dalam memerangi kejahatan keji ini,” tambah Dr. Dinna Wisnu.(*)