Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) nya yang berlangsung pada 26-29 April, 2017, di Manila, Filipina, dengan menghasilkan Deklarasi ASEAN tentang upaya organisasi di kawasan Asia Tenggara itu dalam mewujudkan Visi Masyarakat ASEAN 2025.

ASEAN yang pertumbuhan ekonominya rata-rata mencapai 5,5 persen tahun ini dengan jumlah penduduk sekitar 600 juta dan memiliki kekayaan alam yang melimpah merupakan pasar yang besar dan menarik bagi banyak negara di dunia termasuk negara besar seperti Amerika Serikat, China dan Rusia.

Menyadari hal tersebut, para pemimpin ASEAN telah menetapkan visinya hingga 2025 yang menyangkut berbagai hal termasuk masalah ekonomi, konektifitas, hak-hak azasi manusia dan keamanan.

Visi Masyarakat ASEAN 2025 menjabarkan arah strategis ASEAN dalam satu dekade mendatang (2016-2025), yang ditujukan untuk mengonsolidasikan pembangungan Masyarakat ASEAN dan memperdalam integrasi yang telah berlangsung.

Visi ASEAN mengartikulasikan aspirasi untuk mewujudkan ASEAN yang berlandaskan pada aturan, berorientasi pada rakyat dan berpusat pada rakyat.

Dalam upaya mewujudkan visi tersebut, ASEAN yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, Myanmar dan Laos itu harus meningkatkan persatuan dalam menghadapi peluang dan tantangan yang menghadang organisasi yang dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, tersebut.

ASEAN yang akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru di dunia memiliki peluang dalam mengembangkan pertumbuhan ekonominya baik dengan memanfaatkan kerjasama internal ASEAN maupun eksternal dengan negara-negara yang telah menjadi mitra organisasi tersebut seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Kanada, India, Selandia Baru, Rusia dan Amerika Serikat serta Uni Eropa.

Indonesia 
Namun demikian, ASEAN memiki tantangan yang harus diatasi bersama dengan memperkuat semangat solidaritas ASEAN, dan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar di kawasan tersebut serta memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai tantangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri harus mengambil inisiatif untuk memimpin ASEAN.

Melihat potensi Indonesia tersebut, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan bahwa Indonesia harus mengambil peran kepemimpinanya di ASEAN agar dapat memperkuat organisasi tersebut "bermain" secara regional dan global.

"Persatuan ASEAN sangatlah penting dan Indonesia harus mengambil peran kepemimpinan karena Indonesia adalah negara besar terutama dalam hal penduduknya dan bidang ekonomi. Namun Indonesia jangan hanya mengandalkan sumber daya alamnya saja tapi juga mengembangkan kemampuan manufakturnya," kata Basri di acara Forum Geopolitik Jakarta pada 19-20 Mei, 2017.

Beberapa tantangan yang dihadapi ASEAN antara lain isu Laut China Selatan, isu keamanan di Semananjung Korea, terorisme, isu kelapa sawit terutama setelah dikeluarkannya resolusi tentang penghentian impor komoditi tersebut oleh Parlemen Eropa, dan persoalan media sosial.

Apabila persoalan-persoalan tersebut tidak diselesaikan, upaya ASEAN untuk mencapai Visi Masyarakat ASEAN 2025 akan terganggu. Dalam hal ini Indonesia bisa berperan memimpin ASEAN karena pengalaman-pengalamannya.

Kalau Indonesia mampu menyelesaikan konflik atau isu keamanan di internal ASEAN, negara kepulauan terbesar di dunia tersebut juga harus mampu membantu menyelesaikan persoalan di luar ASEAN sehingga dapat meningkatkan derajat dan citra Indonesia di dunia internasional.

Di antara kasus yang pernah melibatkan Indonesia dalam penyelesaiannya adalah masalah perebutan kekuasaan di Kamboja pada 1970. Dalam upaya penyelesaian persoalan tersebut, Vietnam juga berupaya memberi bantuan, namun anggota-anggota ASEAN yang lain tidak sependat dengan keterlibatan negara tersebut dalam penyelesaian konflik di Kamboja.

Pada akhirnya ASEAN menunjuk Indonesia melalui menteri luar negeri waktu itu, Mochtar Kusumaatmadja, sebagai teman bicara (interlocutor) dengan Vietnam untuk menyelesaikan konflik di Kamboja.

Modal kemampuan yang dimiliki oleh Indonesia juga dapat diterapkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan di ASEAN yang melibatkan negara lain seperti isu Laut China Selatan dan isu Semenanjung Korea yang telah menggangu stabilitas kawasan.

Isu laut China Selatan telah menguras energi negara-negara anggota ASEAN untuk menciptakan keadaan yang benar-benar damai di kawasan Asia Tenggara. Walaupun Pengadilan Internasiomal telah memenangkan Filipina atas China dalam kasus Laut China Selatan, negeri tirai bambu yang menganggap wilayah laut tersebut sebagai wilayah warisan nenek moyangnya itu masih belum rela atas kemenganan Filipina.

Belum lagi isu Semenanjung Korea terutama yang terkait dengan peristiwa peluncuran peluru kendali oleh Korea Utara yang dampaknya juga juga telah membuat resah negara-negara ASEAN. Terjadinya persoalan tersebut akan mengganggu kegiatan ekonomi dan perdagangan yang sudah terjalin dengan baik, karena Korea Selatan merupakan mitra dialog yang penting bagi ASEAN.

ASEAN juga masih menghadapi masalah keamanan termasuk isu terorisme seperti yang baru-baru ini terjadi di Jakarta, dan Davao, Filipina. Terorisme bisa terjadi di mana saja dengan waktu yang sangat tidak terduga dan mengakibatkan korban jiwa.

Dalam upaya pengalaman mengatasi terorisme, Indonesia telah diakui oleh bangsa-bangsa lain yang meminta negara tersebut terlibat dalam berbagai kesempatan internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi Amerika Islam Arab di Riyadh, Arab Saudi, pada 21 Mei, 2017, yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo yang antara lain berbicara soal pentingnya persatuan umat Islam untuk memberantas terorisme.

"Persatuan umat Islam merupakan kunci untuk keberhasilan memberantas terorisme; janganlah energi kita habis untuk saling bermusuhan," katanya saat berbicara dalam konferensi yang mempertemukan para pimpinan negara-negara Arab dan Islam dengan Presiden AS Donald Trump di King Abdul Aziz International Convention Center, Riyadh.

Dalam perannya turut menyelesaikan persoalan-persoalan seperti itu, Indonesia juga memiliki pengalaman apa yang dikenal dengan shuttle diplomacy (diplomasi ulang-alik). Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa melakukan diplomasi tersebut pada 2012 dalam upaya memperkuat persatuan ASEAN dan berhasil membuat semua menteri luar negeri setuju akan langkah-langkah untuk mengatasi isu Laut China Selatan, yang telah membuahkan dampak positif.

Atas dasar Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif serta pengalaman-pengalamannya, tersebut Indonesia dapat melakukan pendekatan-pendekatan kepada negara-negara yang bertikai untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan damai seperti pada pengalamannya di Kamboja dengan peran interlocutor atau Laut China Selatan melalui shuttle diplomacynya.

Dengan peran-peran dan pengalaman-pengalaman tersebut, Indonesia harus mengambil tampuk kepemimpinan (takes a lead) di ASEAN dalam semangat solidaritas ASEAN dengan prinsip Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas, karena ASEAN masih memiliki berbagai persoalan seperti kasus resolusi tentang larangan impor kelapa sawit oleh Parlemen Eropa,serta masalah media sosial yang sangat mengganggu.

Indonesia harus mampu memainkan peran utama dalam menjaga keutuhan ASEAN dalam rangka mencapai cita-citanya seperti yang direncanakan dalam "ASEAN Economic Community Blueprint" 2025 yang tujuannya menyejahterakan masyarakat ASEAN.

Semangat ASEAN yang satu yaitu, Satu Visi, Satu Identitas dan Satu Komunitas, harus tetap kukuh dan jangan sampai ASEAN mengalami peritiwa seperti yang terjadi dengan Uni Eropa karena salah satu anggotanya, Inggris, keluar dari organisasi tersebut yang dikenal dengan Brexit.

Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2017