JAKARTA - Defisit dana sebesar USD1,2 trilliun di 6 negara ekonomi utama ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) sekaligus meningkatnya gejala proteksionisme di Eropa, menjadi sebuah paduan yang menjanjikan bagi kegiatan bisnis. Selain itu, ditambah dengan Belt & Road Initiative (BRI) dari China, berpotensi menghasilkan ledakan investasi dan pembangunan yang kemudian akan menciptakan ekosistem ekonomi baru.

Menurut Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia Sumit Dutta, Belt & Road Initiative pada dasarnya adalah sebuah strategi untuk membangun jalur transportasi dan logistik guna menggenjot perdagangan antara China dengan lebih dari 60 negara di Asia seperti Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. "BRI memiliki target pencapaian sekitar USD2,5 triliun per tahun dalam 10 tahun ke depan. Lebih tinggi daripada sebelumnya, sebesar USD 1 triliun," katanya dalam keterangan resmi

Guna memenuhi (tujuan investasi) di 6 (enam) negara ASEAN dengan kekuatan ekonomi terbesar, PT Bank HSBC Indonesia (HSBC) memperkirakan nilai investasi tersebut akan mencapai nilai USD1,2 triliun sampai dengan tahun 2030. "Analisis tersebut juga menyatakan bahwa pemerintah saat ini berencana untuk menginvestasikan USD910 miliar lagi," sebut dia.

Perusahaan-perusahaan Uni Eropa berkontribusi sekitar seper-enam dari seluruh investasi langsung terhadap perekonomian ASEAN. Komitmen Uni Eropa sebesar USD20,1 miliar di tahun 2015, dua kali lebih besar dibandingkan dengan China. Lebih lanjut, komitmen Eropa terhadap perkembangan ASEAN di tengah ketidakpastian ekonomi ini, juga meningkatkan arus perdagangan tahunan menjadi USD201 miliar di 2015.

Indonesia, Malaysia, dan Thailand juga telah mengumumkan kesepakatan Belt & Road Initiative dengan China dan beberapa proyek sudah memasuki tahap implementasi serta tahap perencanaan. "Kereta cepat dari wilayah selatan Tiongkok, melewati Laos, hingga daerah industri Thailand dan pelabuhan Vietnam adalah salah satu contoh," ungkapnya.

Perusahaan-perusahaan Eropa di bidang mesin, konstruksi, pengawasan, logistik, arsitektur, serta perusahaan layanan bisnis -yang masih menghadapi krisis ekonomi di kawasannya- bisa dan seharusnya mengambil bagian dalam ledakan investasi infrastruktur di Asia.

Perusahaan Jerman yang terkenal dengan teknologi mesin bor terowongan bawah tanah, komponen pendukung, serta layanan perawatan telah mendukung proyek-proyek di Singapura. Di sisi lain, perusahaan Belanda pun mulai aktif dalam pengerukan lahan reklamasi untuk proyek pelabuhan. Sumit mengungkapka, infrastruktur telah menjadi hal yang menantang di kawasan Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir.

Beberapa infrastruktur utama seperti jalan, rel kereta, dan pelabuhan, serta infrastruktur lain seperti instalasi air dan saluran pembuangan, sekolah dan rumah sakit banyak yang harus diperbaiki, diperbanyak maupun dikembangkan. Dengan meningkatnya urbanisasi di kawasan ASEAN, infrastruktur tentunya menjadi prioritas utama bagi negara-negara di kawasan ini.

"Jika kita kaitkan kebutuhan pembangunan di ASEAN, hal ini merupakan kesempatan yang besar untuk meningkatkan perdagangan internasional yang dimotori oleh Indonesia," tutup dia.

Kunthi fahmar sandy