Pilar Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN adalah bentuk kerja sama yang ditujukan untuk memelihara perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan, termasuk untuk memasyarakatkan nilai-nilai bersama seperti HAM dan demokrasi.

ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM)-Plus Military Medicine (MM) and Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HADR) Exercise (AM-HEX) 2016, 1 - 11 September 2016, Chonburi, Thailand.

(Foto: Direktorat Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN, Kemlu)

Masyakarat Politik-Keamanan ASEAN bukan merupakan suatu pakta pertahanan, tetapi lebih merupakan wadah interaksi untuk saling mempererat kerja sama dalam menjaga perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan.

Sebagai pedoman untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, ASEAN telah memiliki ASEAN Political-Security (APSC) Blueprint 2025 atau Cetak Biru Masyarakat Politik-Kemanan ASEAN yang memuat 290 langkah aksi (action lines).

Sebagai salah satu pemelopor APSC Blueprint, Indonesia terus mendorong implementasi kesepakatan dalam Pilar Politik-Keamanan ASEAN dalam rangka mewujudkan masyarakat ASEAN yang rules-based, people oriented dan people centered.

 

Keamanan Kawasan

SEANWFZ dan TAC

South East Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) merupakan sebuah traktat yang bertujuan untuk mewujudkan kawasan Asia Tenggara yang bebas dari nuklir, yang ditandatangani saat KTT ASEAN di Bangkok pada tahun 1995. Sebagai langkah selanjutnya untuk mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas senjata nuklir dan segala jenis senjata pemusnah masal lainnya, ASEAN menyusun Protokol Traktat SEANWFZ. Untuk mendorong penyelesaian isu ratifikasi Protokol Traktat SEANWFZ, Indonesia senantiasa mengusulkan hal-hal sebagai berikut: (1) penandatangan dan ratifikasi bertahap dimulai dari negara yang tidak akan melakukan reservasi, (2) memperbolehkan RRT untuk meratifikasi terlebih dahulu karena RRT tidak memiliki reservasi, dan (3) meminta negara-negara ASEAN yang memiliki keberatan terhadap reservasi Nuclear Weapon State (NWS) untuk secara langsung bernegosiasi dengan negara NWS terkait.


Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC)

Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) merupakan sebuah traktat yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. TAC mengatur penyelesaian konflik diantara negara-negara pihak secara damai. TAC ditandatangani oleh lima kepala negara pendiri ASEAN pada tahun 1979. Pada tahun 1987 TAC diamandemen untuk membuka aksesi bagi Negara-negara di kawasan lain. Selanjutnya, semakin banyak High Contracting Parties telah mengaksesi Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia.

India dan RRT adalah negara pertama di luar ASEAN yang menandatangani TAC pada tahun 2003 di Bali. Hingga saat ini terdapat 43 negara yang telah menandatangani TAC.  3 (tiga) negara terakhir yang mengaksesi TAC, yaitu Columbia, Cuba, dan South Africa  yang penandatanganannya dilakukan di Hanoi, Vietnam pada tanggal 10 November 2020.

Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan merupakan wilayah strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam dan RRT. Potensi konflik di wilayah ini cukup tinggi karena adanya klaim yurisdiksi yang tumpang tindih diantara beberapa negara pengklaim yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam dan RRT.

Untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan, para Menlu ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on the South China Sea pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002, ASEAN bersama RRT mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC). DOC menjadi pedoman bertindak bagi negara-negara ASEAN dan RRT dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah yang menjadi sengketa dengan semangat kerja sama dan saling percaya.

Terkait upaya pemeliharaan perdamaian di wilayah Laut China Selatan (LCS), Indonesia terus beperan aktif sebagai honest broker, antara lain dengan menggulirkan prakarsa dan inovasi yaitu:

  1. Mendorong seluruh pihak di kawasan untuk menahan diri dan tidak melakukan kegiatan yang dapat menciptakan ketegangan.
  2. Mendorong penciptaan kondisi yang kondusif.
  3. Berperan aktif dalam proses penyusunan Code of Conduct in the South China Sea (COC) baik dari sisi approach maupun substansi perundingan. Dalam berbagai pertemuan di bawah kerangka ASEAN dan RRT, Indonesia telah menginisiasikan positive and negative list, serta formula 3+1 (promoting confidence; preventing incidents; managing the incidents (if they occur); plus creating condition conducive through early harvest achievements).
  4. Mempelopori dikeluarkannya Joint Statement of the Foreign Ministers of ASEAN Member States and China on the Full and Effective Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada pertemuan Menlu ASEAN - RRT di Laos, tanggal 25 Juli 2016. Salah satu isinya yaitu agar ASEAN dan RRT memperbaharui komitmen untuk mengimplementasikan DOC secara penuh dan efektif.
  5. Indonesia telah dua kali menjadi tuan rumah penyelenggaraan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (JWG on DOC) pada bulan Juni 2014 dan pada 26-27 Februari 2017 di Bali.
  6. Berperan dalam mendorong aplikasi Code for Unplanned Encountersat Sea (CUES) in the South China Sea.
  7. Memprakarsai dan berperan aktif dalam pembentukan Hotline of Communications antara ASEAN dan RRT untuk merespon kejadian darurat (Hotline of Communications among Senior Officials of the Ministries of Foreign Affairs of ASEAN Member States and China in responses to Maritime Emergencies in the Implementation of the DOC).

Indonesia telah dua kali menjadi tuan rumah penyelenggaraan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (JWG on DOC) pada bulan Juni 2014 dan pada 26-27 Februari 2017 di Bali.

Saat ini negosiasi COC mengalami kendala utamanya dikarenakan COVID-19, namun Indonesia terus berupaya aktif mendorong dimulainya kembali negosiasi COC. Di sela-sela Special ASEAN China Foreign Ministers’ Meeting, pada 7-8 Juni 2021, untuk pertama kalinya 19th SOM on the Implementation of DOC diadakan secara fisik di Chongqing, RRT. ASEAN dan China juga telah mengadakan sejumlah pertemuan Ad Hoc Video Conference Meeting of the Heads of the JWG-DOC yang diawali pada 3 September 2020, guna membahas upaya melanjutkan negosiasi COC di tengah pandemi.

Pembangunan Arsitektur Kawasan

ASEAN memegang peran penting dalam pembangunan kelembagaan di tingkat kawasan. Negara-negara anggota ASEAN dan di luar ASEAN mulai mengakui bahwa ASEAN membantu penciptaan kelembagaan dan proses yang memberikan ruang bagi negara-negara anggotanya dan negara-negara di kawasan untuk menangani masalah secara damai. Dengan pengakuan ini, ASEAN telah mengukuhkan diri sebagai “inti pemersatu kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik”. Peran ASEAN dalam mencapai stabilitas di kawasan tanpa perlu menjadi hegemon juga memberikan jaminan bagi negara-negara anggota ASEAN serta mitranya di kawasan bahwa ASEAN memiliki karakteristik yang tenang dan ramah (benign) serta berkomitmen terhadap prinsip tidak ikut campur tangan (non-interference) dalam politik dalam negeri negara lain.

Senafas dengan peran ASEAN dalam pembangunan arsitektur kawasan yang ditujukan untuk menjawab tantangan baru di kawasan, menghilangkan trust deficit dan berkontribusi terhadap penyelesaian sengketa secara damat serta menghadapi berbagai perubahan geopolitik di kawasan, maka Indonesia berkepentingan untuk menciptakan hasil-hasil yang konkrit dari berbagai pertemuan dan dapat memberikan ruang bagi penyelesaian berbagai agenda dan tantangan di kawasan. Oleh karena itulah, Indonesia telah memprakarsai suatu konsep pemikiran arsitektur keamanan kawasan berdasarkan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan EAS Declaration for Mutually Beneficial Relations (Bali Principles) guna menghadapi berbagai tantangan kawasan ke depan.

Bali Principles yang disepakati pada hasil dari KTT Asia Timur ke-6 tahun 2011 di Bali merupakan panduan tata hubungan antar negara di kawasan Asia Timur berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disepakati, untuk mendukung pembangunan dalam mencapai kemakmuran. Konsep pemikiran Indonesia pada hakekatnya dan dalam jangka panjang adalah memanfaatkan elemen-elemen TAC dan Bali Principles untuk disinergikan dengan berbagai inisiatif negara peserta EAS lainnya dalam rangka menyusun suatu instrumen hukum yang mengikat bagi kawasan yang lebih luas.

Kesatuan dan Sentralitas ASEAN

Dalam mengembangkan arsitektur kawasan, ASEAN berkomitmen untuk tetap menjadi “driving force” di kawasan. Untuk itu, kesatuan dan sentralitas ASEAN harus dipertahankan dengan mengembangkan kerja sama kawasan termasuk dalam berbagai ASEAN-led mechanisms, seperti ASEAN Plus One, APT (ASEAN Plus Three), EAS (East Asia Summit), dan memperdalam ARF (ASEAN Regional Forum) dan ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM) Plus. Dalam memastikan kesatuan dan sentralitas ASEAN, Indonesia memandang ASEAN perlu terus berperan konstruktif, termasuk ikut serta menangani tantangan-tantangan di tingkat global yang menjadi kepentingan bersama.

Pada bulan Juli 2016, Indonesia memprakarsai dikeluarkannya Joint Statement of the Foreign Ministers of ASEAN Member States on the Maintenance of Peace, Security and Stability in the Region.Pernyataan bersama tersebut menunjukkan komitmen yang kuat dalam melindungi ASEAN vis-à-vis dinamika situasi di kawasan, serta komitmen bersama untuk menjaga perdamaian di kawasan.

Dalam rangka peringatan ASEAN ke-53 tahun, pada 8 Agustus 2020 serta dalam merespon dinamika geopolitik di kawasan dan global yang dapat berdampak bagi perdamaian dan stabiitas di Asia Tenggara, Indonesia telah berhasil menginisiasi dikeluarkannya ASEAN Foreign Ministers’ Statement on the Importance of Maintaining Peace and Stability in Southeast Asia. Statement memuat referensi terkait pentingnya menegaskan kembali tujuan dan prinsip dalam ASEAN Outlook on Indopacific (AOIP) dan mendorong kerja sama dengan Mitra Wicara ASEAN.

Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara

Kejahatan lintas negara (transnational crime) telah menjadi ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Seiring dengan laju globalisasi, perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi, kejahatan lintas negara telah berkembang menjadi semakin kompleks, terorganisir, dan melibatkan aktor-aktor dengan jaringan lintas negara. Oleh karena itu, kerja sama antar-negara mutlak diperlukan untuk menanganinya.

Kerja sama ASEAN dalam penanganan kejahatan lintas batas utamanya dilakukan melalui badan sektoral ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) dan ASEAN Regional Forum (ARF). AMMTC merupakan lembaga pengambil keputusan bagi mekanisme-mekanisme setingkat pejabat senior yang berada di bawah koordinasinya, antara lain ASEAN Senior Officials’ Meeting on Transnational Crime (SOMTC) dan ASEAN Directors-General of Immigration Departments and Heads of Consular Affairs Divisions of Ministries of Foreign Affairs Meeting (DGICM). AMMTC/SOMTC adalah forum antar Menteri ASEAN yang menangani kejahatan lintas negara dan telah terbentuk sejak tahun 1997. Focal point nasional AMMTC/SOMTC di Indonesia adalah Polri, dengan Kapolri sebagai Ketua AMMTC-Indonesia.

Sepuluh (10) jenis kejahatan lintas negara yang menjadi prioritas ASEAN dalam AMMTC dan SOMTC adalah (1) terrorism, (2) illicit drugs trafficking, (3) trafficking in persons, (4) money laundering, (5) arms smuggling, (6) sea piracy, (7) international economic crime, (8) cybercrime, (9) people smuggling, dan (10) illicit trafficking of wildlife and timber.

Program kerja SOMTC dalam penanggulangan isu-isu kejahatan lintas negara tertuang di dalam SOMTC Work Programme to Implement ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime yang dikeluarkan secara periodik per tiga tahunan. SOMTC Work Programme yang berlaku saat ini adalah untuk periode 2019-2021. Beberapa area kerja sama telah memiliki pertemuan setingkat working group (WG), yakni SOMTC Working Group on Trafficking in Persons (SOMTC WG on TIP), SOMTC Working Group on Counter Terrorism (SOMTC WG on CT), SOMTC Working Group on Cybercrime (SOMTC WG on CC), SOMTC Working Group on Arms Smuggling (SOMTC WG on AS), SOMTC Working Group on Illicit Trafficking of Wildlife and Timber (SOMTC WG on ITWT), dan Heads of Specialist Trafficking Units (HSU). Terkait hal ini, Indonesia merupakan voluntary lead shepherd area kerja sama terrorism dan merupakan Ketua SOMTC WG on CT.

Sementara di ASEAN Regional Forum (ARF), penanggulangan kejahatan lintas negara dan terorisme dikoordinasikan di bawah bidang kerja sama counter-terrorism and transnational crime, dengan pertemuan rutin tahunannya, yaitu ARF Inter-Sessional Meeting on Counter-Terrorism and Transnational Crime (ARF ISM on CTTC). Dokummen utama yang menjadi rujukan dalam kerja sama ini adalah ARF Work Plan on Counter-Terrorism and Transnational Crime untuk periode 3 tahunan.

Sebagai koordinator kerja sama pemberantasan terorisme dan ketua Senior Official Meeting on Transnational Crimes (SOMTC) Working Group on Counter Terrorism, Indonesia telah memprakarsai penyusunan ASEAN Comprehensive Plan on Counter Terrorism (ACPoA on CT) yang mencakup kepatuhan terhadap resolusi PBB yang relevan, implementasi kerangka kerja sama yang ada, exchange of best practices dalam pengamanan objek vital, kerja sama perbatasan, pembuatan database bersama, dan pencegahan pendanaan terorisme. Sebagai upaya dalam mencegah penyebaran paham radikalisme dan ekstrimisme di kawasan, para pemimpin juga telah mengadopsi Langkawi Declaration on the Global Movement of Moderate dan Chairman’s Statement Special ASEAN Ministerial Meeting on the Rise of Radicalisation and Violent Extremism (SAMMRRVE).Salah satu capaian terbesar Indonesia dan ASEAN di bidang pemberantasan terorisme adalah diadopsinya ASEAN Plan of Action (PoA) to Prevent and Counter the Rise of Radicalisation and Violent Extremism 2018-2025 di Pertemuan 12th ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes (AMMTC) di Nay Pyi Taw, Myanmar, 2018. PoA yang merupakan inisiatif Indonesia tersebut memuat 4 area prioritas/pilar kerja sama, yakni: (i) Pencegahan; (ii) Deradikalisasi dan kontra-radikalisasi; (iii) Penegakan hukum dan penguatan hukum nasional; dan (iv) Kemitraan dan kerja sama regional

Sebagai implementasi dari PoA tersebut, pertemuan 13th AMMTC tahun 2019 telah mengesahkan Work Plan to Implement the ASEAN Plan of Action (PoA) to Prevent and Counter the Rise of Radicalisation and Violent Extremism (2019-2025) atau lazim disebut “Bali Work Plan” yang merupakan prakarsa Indonesia. Dokumen tersebut merupakan bentuk kerja sama cross-sectoral dan cross-pillar Work Plan terbesar di ASEAN dimana penyusunan dan implementasinya melibatkan 20 badan sektoral, organ, dan entitas ASEAN terkait di bawah tiga Pilar ASEAN. Selain itu, Indonesia juga banyak memberikan masukan-masukan konstruktif untuk draft Concept Paper ASEAN Border Management Cooperation Roadmap usulan Thailand, dan sejumlah Joint Statements.

Pertahanan, Perdamaian dan Stabilitas Kawasan

Kerja sama pertahanan di ASEAN diselenggarakan melalui ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM). ADMM merupakan platform kerja sama antar-Menteri Pertahanan ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan Confidence Building Measures (CBM) serta menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan melalui dialog dan kerja sama praktis.

ADMM-Plus merupakan bentuk perluasan kerja sama Pertahanan ADMM dengan melibatkan 8 (delapan) Negara Mitra Wicara ASEAN sebagai peserta, yakni Amerika Serikat, Australia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Republik Korea (ROK), Selandia Baru, India, dan Rusia.

ADMM-Plus memiliki 7 (tujuh) Experts’ Working Groups (EWGs), yaitu :  

  1. Penanganan Bencana dan Bantuan Keamanusiaan (Humanitarian Assistance and Disaster Relief/HADR)
  2. Medis Militer (Military Medicine/MM)
  3. Pemberantasan Terorisme (Counter Terrorism/CT)
  4. Keamanan Maritim (Maritime Security/MS)
  5. Operasi Pemelihara Perdamaian (Peacekeeping Operations (PKO)
  6. Penanggulangan ranjau darat (Humanitarian Mine Action/HMA)
  7. Keamanan Siber (Cyber Security/CS)

Pada pertemuan 6th ADMM-Plus yang dilaksanakan pada tahun 2019, Indonesia dan India ditetapkan menjadi co-chair ADMM-Plus EWG on HADR untuk periode 2021-2023 (4th cycle). Pertemuan 7th ADMM-Plus melalui telekonferensi video pada tanggal 10 Desember 2020 telah mengesahkan ADMM-Plus EWG on HADR Work Plan 2021-2023

Keamanan Maritim

Indonesia merupakan salah satu penggerak kerja sama ASEAN di bidang keamanan maritim. Beberapa isu yang menjadi prioritas adalah pemberantasan perompakan (sea-piracy) dan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing).

Kerja sama dan pembahasan isu-isu keamanan maritim dalam kerangka APSC dilakukan dalam berbagai mekanisme, diantaranya:

  1. ASEAN Maritime Forum (AMF) dan Extended ASEAN Maritime Forum (EAMF);
  2. ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) and ADMM Plus; dan
  3. ASEAN Regional Forum (ARF).

Kerja Sama Maritim dalam Kerangka ASEAN Maritime Forum (AMF)/EAMF

AMF dan EAMF merupakan pertemuan tahunan ASEAN inisiatif Indonesia yang membahas perkembangan isu dan kerja sama maritim di kawasan yang bersifat strategis, lintas sektoral, dan lintas Pilar ASEAN.

Pertemuan EAMF merupakan perluasan dari Pertemuan AMF dengan mengikutsertakan 8 negara mitra wicara yang juga merupakan anggota East Asia Summit (EAS), yakni Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Rusia, dan Selandia Baru.

Indonesia telah 3 (tiga) kali menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan AMF dan 2 (kali) menjadi tuan rumah pertemuan EAMF, yakni inaugurasi AMF pada tahun 2010 di Surabaya; AMF ke-6 dan EAMF ke-4, tanggal 9-10 September 2015 di Manado; serta AMF ke-7 dan EAMF ke-5, tanggal 6-7 Desember 2017 di Jakarta.      

Rangkaian Pertemuan 9th AMF dan 7th EAMF telah diselenggarakan di Da Nang, Vietnam pada tanggal 5 – 6 Desember 2019. Pertemuan membahas perkembangan kerja sama maritim di berbagai mekanisme terkait ASEAN dan upaya-upaya peningkatan peran AMF serta peningkatan sinergi antara mekanisme terkait maritime di ASEAN. Sementara Expanded AMF telah mendiskusikan 25 tahun entry into force UNCLOS 1982, meriviu kegiatan dan proyek yang telah dilaksanakan di bawah kerangka Expanded AMF dan mekanisme lainnya, membahas perkembangan isu maritim di kawasan, serta membahas arah ke depan kerja sama Expanded AMF.

Sejumlah isu strategis yang dibahas pada kedua pertemuan tersebut, antara lain: Indo Pasifik, keamanan maritim (LCS, IUU Fishing, crimes related to fisheries, sea-piracy, armed-robbery at sea, perdagangan manusia, penyelundupan narkoba), keselamatan maritim (SAR, teknologi perkapalan), dan perlindungan lingkungan laut (marine plastic debris, konservasi lingkungan laut dan pesisir, tumpahan minyak di laut).

Sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Indonesia terkait isu maritim dibawah mekanisme ASEAN spanjang tahun 2018-2019 antara lain:

  1. ASEAN-China Workshop on the Safety of Navigation and Communication in the South China Sea di Manado, Indonesia, 30 November – 1 Desember 2018
  2. ASEAN Regional Forum (ARF) Workshop and Table Top Exercise (TTX) on Enhancing Law Enforcement, Preventive Measures and Cooperation to Address Complex Issues in the Fisheries Sector, di Bali, 26-28 June 2019
  3. EAMF Workshop on States’ Response Management on Prevention and Preparedness against Transboundary Marine Pollution, di Jakarta, 29 – 30 Agustus 2019
  4. 3rd Experts Group Meeting on the Establishment of the ASEAN Coast Guards and Maritime Law Enforcement Agencies Forum (ACF), di Jakarta, 29 – 30 Oktober 2019 (BAKAMLA).

Kerja Sama Maritim dalam Kerangka ASEAN Regional Forum (ARF)

Kerja sama Maritim dalam kerangka ARF  dikembangkan melalui mekanisme ARF Inter-Sessional Meeting on Maritime Security (ARF ISM on MS). ISM on MS memfokuskan kerjanya pada dialog dan kerja sama serta kajian kebutuhan dasar kawasan terkait keamanan maritim, antara lain terkait pemenuhan dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan internasional, keselamatan dan keamanan pelayaran, capacity building, serta penanganan maritime terrorism dan transnational maritime crimes.

Sejak pembentukan ARF ISM on MS, Indonesia senantiasa memegang peranan penting dalam mendorong kerjasama maritim di ARF, terlihat dari perannya sebagai Ketua Bersama ARF ISM on MS selama 6 tahun inter sesi (2009-2014). Pada periode 2018-2019, ARF ISM on MS diketuai bersama oleh Vietnam, Uni Eropa dan Australia.

Pada pertemuan 11th ARF Inter-Sessional Meeting on Maritime Security (ISM on MS) yang terakhir diselenggarakan di Da Nang, Viet Nam, pada 14-15 Maret 2019, Indonesia menyampaikan perlunya upaya untuk menangani polusi laut dan sampah plastik di laut yang membawa dampak buruk terhadap ekonomi dan wellbeing dari masyarakat. Indonesia menyampaikan telah membentuk sejumlah regulasi dan peraturan, roadmap pengurangan limbah, dan National Plan of Action to Combat Marine Debris, serta memasukkan isu marine plastic debris ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

Dokumen rujukan kerja sama ARF: ARF Work Plan on Maritime Security 2018-2020. Untuk tahun intersesi 2018-2019, Indonesia telah melaksanakan kegiatan ASEAN Regional Forum Workshop and Table Top Exercise on Enhancing Law Enforcement, Preventive Measures and Cooperation to Address Complex Issues in the Fisheries Sector di Bali pada tanggal 26-28 Juni 2019.

Kerja Sama Maritim dalam Kerangka ADMM/ADMM-Plus

Kerja sama Maritim dalam kerangka ADMM dilakukan melalui mekanisme ADMM-Plus Experts Working Group on Maritime Security (ADMM-Plus EWG on MS) yang fokus pada practical maritime security cooperation seperti penyelenggaraan Table Top Exercise (TTX), Field Training Exercise (FTx), Workshops dan training, Passing Exercises (PASSEX), penyelenggaraan online cources, sharing information melalui pembentukan portal Security Community Information-Sharing Portal (AMSCIP). Untuk periode 2017-2020 co-Chairmanship ADMM-Plus EWG on MS dipegang oleh Singapura dan Korea Selatan. Sementara untuk periode 2020-2023 adalah Thailand dan Amerika Serikat.

Narkotika

Isu penyalahgunaan narkoba di masyarakat telah menjadi keprihatinan di berbagai belahan dunia, termasuk kawasan ASEAN. Hal ini antara lain dipicu oleh kemajuan di bidang transportasi dan teknologi yang mendukung maraknya lalu lintas perdagangan di tingkat global, termasuk peredaran berbagai bentuk new synthetic drugs.

Negara-negara ASEAN telah menyadari bahwa masalah narkoba merupakan sebuah ancaman keamanan yang dapat mengganggu stabilitas di berbagai aspek kehidupan masyarakat ASEAN, seperti ekonomi, politik, dan sosial. Aktifitias perdagangan narkoba di kawasan ini memiliki frekuensi yang cukup tinggi dan sering kali melibatkan banyak negara.

Merespon hal tersebut, secara intensif negara-negara ASEAN melakukan dialog dan kerja sama untuk menangani masalah narkoba dan menanggulangi masalah narkoba di kawasan Asia Tenggara. Salah satunya melalui badan sektoral yang bernama ASEAN Senior Official on Drugs Matters (ASOD), yaitu badan sektoral yang dimiliki ASEAN dalam menanggulangi permasalahan narkoba di Asia Tenggara. ASOD merupakan pertemuan pejabat tingkat senior ASEAN untuk saling bertukar informasi dan berdiskusi tentang permasalahan narkotika di kawasan. ASOD dalam perkembangannya telah memberikan banyak kontribusi bagi penanggulangan masalah narkoba di Asia Tenggara. Secara khusus, ASOD memiliki mandat untuk implementasi ASEAN Declaration of Principle to Combat the Drug Problem yang diadopsi pada tahun 1976.

Untuk memperkuat mekanisme ASEAN di bidang penyebarluasan penyalahgunaan narkoba, Para Pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-26 tanggal 27-28 April 2015 meningkatkan komitmennya melalui pembentukan ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD) sebagai pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri yang menangani isu narkotika guna mengintensifkan upaya mencapai Drug-Free ASEAN; memperkuat kerjasama dan memonitor perkembangan cross-cutting issues terkait narkoba; dan memberikan arahan strategis kepada ASOD dalam meningkatkan kerja sama di ASEAN dan dengan Mitra Wicara ASEAN.

Isu ini juga telah berada di bawah purview Pilar Polkam ASEAN. Sebagai rencana kerja dalam mencapai visinya, ASOD dan ADMM memiliki ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs 2016-2025 yang diadopsi pada pertemuan AMMD ke-5 di Singapura, 19-20 Oktober 2016. Work Plan ini memberikan panduan kerja spesifik untuk menanggulangi illicit drugs activities dan mengurangi dampak negatif di masyarakat.

Pertemuan AMMD ke-6 tahun 2018 telah menyepakati agar Indonesia memimpin pelaksanaan Mid-Term Review ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs 2016-2025. Meski sempat terkendala akibat pandemi sejak 2020-2021, pelaksanaan Mid Term Review telah selesai dirampungkan pada tahun 2021 dibawah kepemimpinan Indonesia. Berbagai rekomendasi dari Mid-Term Review akan dilaporkan kepada AMMD ke-9 bulan Oktober 2021.

Dalam upaya mewujudkan visi Drug-Free ASEAN, ASOD sangat terbantu dengan bantuan dan dukungan  Mitra Wicara ASEAN dan juga organisasi-organisasi yang berada di bawah payung PBB, seperti UNDCP, UNODC, dan UNDP.

Dalam melaksanakan tugasnya, badan sektoral ini didukung oleh ASEAN Airport Interdiction Task Force (AAITF) dan ASEAN Seaport Interdiction Task Force (ASITF) guna membahas kerjasama dalam pemberantasan Narkoba di kawasan bandar udara, pelabuhan dan wilayah perbatasan. AAITF merupakan sebuah forum yang terbentuk atas gagasan Indonesia, untuk mengimplementasikan kerja sama antar negara ASEAN.

 

Badan Sektoral yang menangani:

  • ASEAN Senior Official on Drug Matters (ASOD);
  • ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD).

 

Institusi Nasional yang menangani:

  • Badan Narkotika Nasional: Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama
Hak Asasi Manusia

Dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN, kemajuan yang pesat ditunjukkan sejak dibentuknya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. AICHR merupakan lembaga HAM yang bersifat menyeluruh dan bertanggung jawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Sebagai bentuk keterbukaan AICHR kepada publik, maka AICHR telah mempublikasikan Laporan Tahunan tahun 2016 melalui laman khusus AICHR.

Capaian terbesar yang dihasilkan AICHR adalah Deklarasi HAM ASEAN dan Pernyataan Phnom Penh mengenai Pengesahan Deklarasi HAM ASEAN tahun 2012. AICHR juga aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan peningkatan kesadaran HAM bagi para pemangku kepentingan di kawasan dan peningkatan kapasitas berbagai kelompok profesi, di antaranya guru, jurnalis, penegak hukum, untuk menyertakan dimensi HAM dalam pelaksanaan profesi masing-masing.

Indonesia secara aktif terlibat dan akan terus meningkatkan kontribusinya dalam upaya untuk memajukan nilai-nilai demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di kawasan melalui pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Indonesia juga secara aktif mendorong AICHR agar mengoptimalkan perannya sebagai organ overarching ASEAN untuk mengarusutamakan HAM di ketiga pilar ASEAN.

Upaya Perdamaian dan Resolusi Konflik

Sejarah mencatat bahwa Indonesia telah berperan penting dalam proses resolusi dan manajemen konflik di kawasan, di antaranya konflik perbatasan Kamboja-Thailand. Atas dasar hal ini, Indonesia senantiasa meningkatkan peran dan kepemimpinannya melalui program yang mempromosikan nilai-nilai perdamaian, manajemen konflik, dan rekonsiliasi di kawasan.

Pada tahun 2011, Indonesia memprakarsai berdirinya ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR). Institusi ini berperan penting untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian, manajemen konflik, dan rekonsiliasi di kawasan. Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi host country bagi AIPR serta terus mengupayakan agar AIPR dapat segera beroperasi secara penuh. Indonesia telah menyediakan kantor operasional AIPR di Kompleks Pusdiklat Kemlu, Jakarta.

Melalui AIPR, Indonesia juga telah menyelenggarakan sejumlah kegiatan terkait violent extremism yang diharapkan dapat membantu ASEAN memberantas root causes dari terorisme. Berbagai kegiatan telah diselenggarakan diantaranya yaitu “AIPR Regional Symposium on the Repercusion of Violent Extremism towards Moderates” di Yogyakarta, tanggal 27 - 28 November 2015 dan simposium bertajuk “Membendung Violent Extremism dan Islamophobia: Peran Penting Kaum Muda”  di Universitas Indonesia tanggal 30 November 2016. Simposium dihadiri oleh wakil-wakil organisasi kepemudaan dan mahasiswa dan utamanya membahas upaya-upaya untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk kaum muda dalam penyusunan kebijakan dan dalam menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi untuk memerangi violent extremism.